Selasa, 01 Oktober 2013

Sejarah kaligrafi


A.    Latar belakang
Kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses penciptaannya melalui alat jasmani. Kaligrafi atau khath, dilukiskan sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran, senjata pengetahuan, penyimpan rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh sebagian ulama disebutkan “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”. Akan tetapi yang lebih mengagumkan adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan perintah Allah SWT yang pertama diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang tertuang dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5, yaitu:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan mulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajari (mausia) dengan parantaraan kalam. Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya”.
Dapat dipastikan, kalam atau pena mempunyai kaitan yang erat dengan seni kaligrafi. Dapat juga dikatakan bahwa kalam sebagai penunjang ilmu pengetahuan. Wahyu tersebut merupakan “sarana” al-Khaliq dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia untuk membaca dan menulis. Tentang asal-usul kaligrafi itu sendiri, banyak pendapat yang mengemukakan tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah yang paling tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam As-lah yang pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT, sebagaiman firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhya…. “
Di samping itu masih ada lagi cerita-cerita keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak yang percaya bahwa bahasa atau sistem tulisan berasal dari dewa-dewa. Nama Sanskerta adalah Devanagari, yang berarti “bersangkutan dengan kota para dewa”. Perkembangan selanjutnya mengalami perubahan akibat pergeseran zaman dan perubahan watak manusia.
Akhirnya muncul tafsiran-tafsiran baru tentang asal-usul tulisan indah atau kaligrafi yang lahir dari ide “menggambar” atau “lukisan” yang dipahat atau dicoretkan pada benda-benda tertentu seperti daun, kulit, kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar yang mengandung lambang-lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu yang diasosiasikan dengan bunyi ucap sajalah yang dapat diusut sebagai awal pembentukan kaligrafi. Dari situlah tercipta sistem atau aturan tertentu untuk membacanya. Demikian juga sistem tulisan primitif Mesir Kuno atau sistem yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat primitif.
B.    Rumusan masalah
a.    Sejarah perkembangan kaligrafi pada masa daulah bani abbasiyah?
b.    Contoh-contoh model kaligrafi?

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Kaligrafi Islam
Ungkapan kaligrafi diambil dari kata Latin “kalios” yang berarti indah, dan “graph” yang berarti tulisan atau aksara. Dalam bahasa Arab tulisan indah berarti “khath” sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “calligraphy”. Arti seutuhnya kata kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan cara-cara penerapannya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis sebagaimana menulisnya dan membentuknya mana yang tidak perlu ditulis, mengubah ejaan yang perlu diubah dan menentukan cara bagaimana untuk mengubahnya. Sedangkan pengertian kaligrafi menurut Situmorang yaitu suatu corak atau bentuk seni menulis indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.
Kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses penciptaannya melalui alat jasmani. Kaligrafi atau khath, dilukiskan sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran, senjata pengetahuan, penyimpan rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh sebagian ulama disebutkan “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”. Akan tetapi yang lebih mengagumkan adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan perintah Allah SWT yang pertama diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang tertuang dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5, yaitu:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajari (mausia) dengan parantaraan kalam. Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya”.
Dapat dipastikan, kalam atau pena mempunyai kaitan yang erat dengan seni kaligrafi. Dapat juga dikatakan bahwa kalam sebagai penunjang ilmu pengetahuan. Wahyu tersebut merupakan “sarana” al-Khaliq dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia untuk membaca dan menulis.
Tentang asal-usul kaligrafi itu sendiri, banyak pendapat yang mengemukakan tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah yang paling tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam As-lah yang pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT, sebagaiman firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhya…. “
Di samping itu masih ada lagi cerita-cerita keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak yang percaya bahwa bahasa atau sistem tulisan berasal dari dewa-dewa. Nama Sanskerta adalah Devanagari, yang berarti “bersangkutan dengan kota para dewa”. Perkembangan selanjutnya mengalami perubahan akibat pergeseran zaman dan perubahan watak manusia.
Akhirnya muncul tafsiran-tafsiran baru tentang asal-usul tulisan indah atau kaligrafi yang lahir dari ide “menggambar” atau “lukisan” yang dipahat atau dicoretkan pada benda-benda tertentu seperti daun, kulit, kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar yang mengandung lambang-lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu yang diasosiasikan dengan bunyi ucap sajalah yang dapat diusut sebagai awal pembentukan kaligrafi. Dari situlah tercipta sistem atau aturan tertentu untuk membacanya. Demikian juga sistem tulisan primitif Mesir Kuno atau sistem yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat primitif.
Pada mulanya tulisan tersebut berdasarkan pada gambar-gambar. Kaligrafi Mesir Kuno yang disebut Hieroglyph berkembang menjadi Hieratik, yang dipergunakan oleh pendeta-pendeta Mesir untuk keperluan keagamaan. Dari huruf Hieratik muncul huruf Demotik yang dipergunakan oleh rakyat umum selama beberapa ribu tahun. Tulisan yang ditemukan 3200 SM di lembah Nil ini bentuknya tidak berupa kata-kata terputus seperti tulisan paku, tetapi disederhanakan dalam bentuk-bentuk gambar sebagai simbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat pengertian yang dimaksud. Kaligrafi bentuk inilah yang diduga sebagai cikal bakal kaligrafi Arab.


B.    Kaligrafi Murni dan Lukisan Kaligrafi
Seni kaligrafi merupakan kebesaran seni Islam, yang lahir di tengah-tengah dunia arsitektur. Hal ini dapat dibuktikan pada aneka ragam hiasan kaligrafi yang memenuhi masjid-masjid dan bangunan-bangunan lainnya, yang diekspresikan dalam paduan ayat-ayat suci Al-Qur’an, Al-Hadits atau kata-kata hikmah. Demikian juga mushaf Al-Qur’an banyak ditulis dengan berbagai corak kaligrafi.
Berdasarkan eksistensi tulisan (huruf Arab) pada saat pengekspresiannya, dibedakan pengertian antara kaligrafi murni dan lukisan kaligrafi. Keduanya agak berjauhan satu sama lain. Kaligrafi murni adalah seni tulis indah yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat, yaitu bentuk-bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi yang baku (kaidah khathiyah). Di sini dapat dibedakan dengan jelas aliran-aliran seperti Naskhi, Tsuluts, Rayhani, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi dan Riq’ah.1 Penyimpangan atau pencampuradukkan satu dengan yang lain dipandang sebagai suatu kesalahan, karena dasarya tidak cocok dengan rumus-rumus yang sudah ditetapkan. Jelaslah, bahwa suatu hasil karya kaligrafi tidak boleh mencampuradukkan gaya dalam penulisan kaligrafi misalnya, Naskhi, Riq’ah dan Tsuluts dijadikan satu. Hal itu tidak boleh terjadi, karena merupakan “pelanggaran”. Selanjutnya menurut Situmorang, bahwa suatu gaya kaligrafi sudah ditentukan secara ketat peraturan penulisannya. Keserasian antar huruf, cara merangkai, sentakan, bahkan jarak sepasi harus diperhitungkan dengan serasi. Teknik penulisan tiap-tiap kaligrafi atau khath juga mempunyai cara yang berbeda-beda.
Dewasa ini kaligrafi murni atau kaligrafi klasik telah banyak mendapat perhatian dan dikembangkan ke dalam bentuk lukisan kaligrafi (kaligrafi ekspresif atau kontemporer). Istilah “lukisan kaligrafi” biasanya digunakan untuk membedakannya dari “kaligrafi murni” atau “kaligrafi klasik” yang berpegang pada kaidah-kaidah khathiyah.
Pengertian lukisan yaitu suatu pengucapan pengalaman artistik yang ditumpahkan dalam bidang dua dimensional dengan menggunakan warna dan garis.15 Lukisan adalah suatu bentuk ungkapan batin seseorang dari hasil suatu pengolahan ide berbakat pengalaman indrawi maupun pengalaman jiwa melalui susunan unsur-unsur estetis dengan ukuran dwi marta (dua dimensi). Ungkapan atau pernyataan batin yang juga disebut ekspresi dalam suatu karya seni, haruslah memiliki nilai kebebasan dan mengandung unsur keindahan. Tampilnya keindahan tidak selalu dalam pewujudan fisik dan visual semata-mata, tetapi dapat pula secara moral (perasaan) atau secara kedua-duanya. Sedangkan yang dimaksud dengan lukisan kaligrafi adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligafi yang dilukis sedemikian rupa dengan menggunakan warna-warna yang beragam, bebas dan tidak terikat oleh rumus-rumus baku yang ditentukan. Menurut Situmorang, lukisan kaligrafi adalah suatu bentuk atau corak seni kaligrafi yang dieksperimenkan ke dalam bentuk lukisan yang dikombinasikan dengan warna-warna, huruf dan corak tulisannya cenderung memiliki gaya atau corak yang bebas dan lepas dari kaidah-kaidah yang telah digariskan dalam kaligrafi yang baku.
Lukisan kaligrafi merupakan seni lukis yang menampilkan aksara Arab sebagai subject-matter (sasaran) utuh atau sebagian, atau mengambil beberapa huruf saja. Secara prinsip kaligrafi lukis (lukisan kaligrafi) berbeda dengan kaligrafi tulis (kaligrafi murni). Pada lukisan kaligrafi terdapat sejumlah kebebasan dalam berekspresi. Sedangkan dalam kaligrafi tulis, dikenal beberapa macam ketentuan pokok dan rumus-rumus baku. Lukisan kaligrafi secara mendasar berbeda dengan lukisan biasa. Di samping si pelukis harus memiliki niat suci dan hati bersih, pemilihan medianya pun harus benar dan tepat. Oleh karena itu, pengertian lukisan kaligrafi Islam tidak selalu menunjukkan kepada pengembangan gaya-gaya kaligrafi (kontemporer maupun klasik baku) dalam arti huruf seperti dalam kriterium al-Faruqi. Fokus lukisan kaligrafi tidak hanya selesai pada huruf, tetapi kehadirannya memang sebagai “lukisan” dalam arti yang sesungguhnya, seperti yang di kemukakan pelukis kaligrafi Syaiful Adnan. Kritikus seni rupa Dan Suwaryono menandaskan bahwa lukisan kaligrafi pada dasarnya ditopang dua unsur elemen seni rupa, berupa unsur-unsur fisiko plastis (berupa bentuk, garis, warna, ruang, cahaya, dan volume) di satu pihak, dan di pihak lain tuntutan-berupa tuntunan yang cenderung ke arah idio plastis (meliputi semua masalah yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan isi atau cita pembahasan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah, “lukisan” kaligrafi tidak hanya menampilkan sosok huruf yang dilukis, tetapi juga sebagai sebuah lukisan utuh yang menjadikan huruf sebagai salah satu elemennya.
Menurut Affandi, lukisan kaligrafi adalah karya cipta manusia sebagai hasil pengolahan ungkapan batinnya melalui susunan unsur-unsur tulisan dan unsur-unsur dwi marta yang lain, yang memiliki sifat-sifat simbolik, religius, dan estetik. Membawa pesan kebaikan antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan alam. Jadi, setiap lukisan kaligrafi memiliki kebebasan dalam gaya atau corak tulisan sehingga tercipta suatu kesatuan bentuk lukisan yang sesuai dengan keinginan penciptanya. Dari pengkajian makna peristilahan tersebut dapat dikatakan: Pertama, lukisan kaligrafi bukan sekedar sebagai seni tulisan indah. Kedua, melalui kebebasan ekspresi estetik, seni tulisan indah kemudian dengan kreasi bentuk dan susunan huruf-huruf dilengkapi dengan unsur-unsur lain menjadi karya lukisan. Ketiga, lukisan merupakan bahasa dari pelukisnya. Bahasa adalah media komunikasi. Lukisan dengan unsur-unsurnya adalah merupakan wujud perlambang yang digunakan oleh pelukis untuk mengutarakan isi hatinya dengan pesan-pesannya. Keempat, lukisan kaligrafi perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Islami. Karena itulah lukisan kaligrafi mengekspresikan keagamaan. Medium untuk penciptaan karya lukisan kaligrafi sangatlah bebas, sebebas medium yang digunakan pada karya-karya lukisan umumnya. Lukisan kaligrafi dapat ditampilkan dengan teknik cat minyak, cat air, batik bahkan dengan berbagai teknik eksperimen klasik maupun modern.
Banyak sedikitnya unsur tulisan dalam karya lukisan kaligrafi tidak menjadi masalah. Yang penting adalah keterpaduan dan keselarasan dapat tercapai. Karena yang ditulis adalah ayat-ayat Al-Qur’an, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai merubah arti dan makna ayat tersebut. Dalam penampilannya, lukisan kaligrafi dapat bercorak realis, surealis, dekoratif sampai yang bercorak semi abstrak.

C.    Kaligrafi Kontemporer
 Kaligrafi yang dikenal dalam bentuk ragamnya sekarang, mempunyai asal-usul yang cukup panjang dan berliku. Perkembangannya telah dimulai sejak berabad-abad yang lampau, dimulai dari pemerintahan Dinasti Ummayah (661-750 M) dengan pusatnya di Damaskus, Syria sampai pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) dengan pusatnya di Bagdad, dan berlanjut lagi pada masa-masa pemerintahan Fatimiyah (969-1171 M), pemerintahan Ayyub (1771-1250 M), pemerintahan Mameluk (1250-1517 M) dengan pusatnya di Mesir, pemerintahan Usmaniah (1299-1922 M) dan pemerintahan Safavid Persia (1500-1800 M). Demikian lamanya pengembangan kaligrafi Islam berlangsung hingga mencapai kematangannya.
Dalam perjalanannya, kaligrafi Arab yang lebih sering menjadi alat visual ayat-ayat al-Qur’an, tumbuh tertib mengikuti rumus-rumus berstandar (al-khath al-mansub) olahan Ibnu Muqlah yang sangat ketat. Standarisasi yang menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif dan lingkaran untuk mendesain huruf-huruf itu mencerminkan “etika berkaligrafi” dan kepatuhan pada “kaidah murni” aksara Arab. Namun, belakangan muncul gerakan yang menjauhkan diri dari kebekuan ikatan-ikatan tersebut. Kreasi mutakhir yang “menyimpang” dari grammar lama ini populer dengan sebutan “kaligrafi kontemporer”, merujuk pada gaya masa kini yang penuh dinamika dan kreatifitas dalam mencipta karya yang serba aneh dan unik, seperti karya-karya kaligrafis yang dibuat di atas kayu, kanvas lukis, atau bahan lain yang menggambarkan beberapa ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi, atau karya mandiri dari seniman.
Munculnya kaligrafi kontemporer lebih dipengaruhi oleh perkembangan seni rupa Barat yang mengarah pada kebebasan dalam berkarya. Wujud yang ingin ditampilkan adalah nilai-nilai artistik baru secara tersurat dengan menafikan aturan-aturan lama (rumus-rumus dasar kaligrafi), tanpa ingin menyuguhkan makna-makna baru secara tersirat dari ayat-ayat Suci Al-Qur’an.
Ciri-ciri yang telihat dalam kaligrafi kontemporer adalah pada konsep “kebebasan” berkarya, baik karakter huruf yang ditampilkan maupun media yang digunakan. Salah satunya adalah seperti yang ingin ditampilkan dalam karya seni lukis kaligrafi.
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan sederet nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca: khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku, dan pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara. Keadaan ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan (komuniksai dari mulut kemulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai pemajangan al-Mu’alaqat (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara bertarikh 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari huruf Nabati yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang mendiami Hirah dan Anbar tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan Jazirah Arab. Perkembangan kaligrafi pada tiap-tiap priode:
1. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar (bundar), Mutsallats (segitiga), dan Ti’im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya Muqawwar berciri lembut, lentur dan gaya Mabsut berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya inipun menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi diantaranya Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq dan Naskh terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi pun melahirkan beberapa variasi baik pada garis vertikal maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru maupun penggunannya, dalam hal ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang termasyhur mengembangkan tulisan kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts. Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain sehingga menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak lurus ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh, gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi istana. Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena khilafah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian besar peninggalan-peninggalannya demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa contoh tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam yang dibangun Mu’awiyah, tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah kolam yang dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.

2. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M), dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur (754-775 M) dan al-Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu : titik, huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’ yang merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser dominasi khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal diantaranya Muhammad ibn As-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf bersandar yang indah). Ia mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan fragmen duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan metode baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap enam gaya pokok yang masyhur itu. Yaqut adalah kaligrafer besar di masa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini pada tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.

3. Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat dari negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya kaligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara Mongol dibawah Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Quran dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar